Tuduhan-tuduhan Terhadap Ahmadiyah dan Ghulam Ahmad

Dalam Bayan DSP PKS Nomor: 17/B/K/DSP-PKS/1429 Tentang Ahmadiyah yang bisa di baca di link http://www.pksjogja.or.id/bayan-dsp-pks-nomor-17bkdsp-pks1429-tentang-ahmadiyah/ , PKS ternyata juga ikut-ikutan melakukan fitnah terhadap AHMADIYAH.

“Ahmadiyah atau Al-Qadiyaniyah adalah aliran keagamaan yang dibidani oleh penjajah Inggris bertujuan agar umat Islam tidak melakukan jihad menentang koloni terhadap Inggris”.

Tahun 2006, buku Dr. Ihsan Ilahi Zahir berjudul Al Qadiyaniyah, dirasat wa tahlil, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Drs. Asmuni. Judulnya ‘Mengapa Ahmadiyah Dilarang?’ diikuti oleh dua baris judul kecil, Fakta sejarah dan I’tiqadnya (Dirujuk dari 91 buku-buku Ahmadiyah). Dalam bukunya dia juga menyebut tentang Ghulam Ahmad dalam buku itu Ihsan Ilahi Zhahir menulis bahwa
“Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad pernah menyampaikan pengakuan dalam sebuah pidato yang beliau sajikan untuk Ratu Britania ketika mengadakan lawatan ke India. Konon pengakuan itu berisi pernyataan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad bahwa semua yang beliau terima adalah berkah dari penjajah Britania. (lihat, Mengapa Ahmadiyah Dilarang? Halaman 3, baris ke 15 dari atas)”.

Tujuan Ihsan Ilahi Zhahir mengemukakan ‘peristiwa’ itu tentu untuk membuktikan kedekatan Ahmadiyah dengan pemerintah Inggris, sekaligus mengesahkan tuduhan bahwa Ahmadiyah itu boneka buatan Inggris untuk ‘mengobok-obok’ Islam dan merusak akidah Islam. Peristiwa itu juga dijadikan dasar untuk menuduhkan bahwa kenabian Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad itu adalah gelar yang disematkan oleh pemerintah Inggris kepada beliau.

Jemaat Ahmadiyah tentu sangat ‘concern’ akan masalah ini. Untuk membuktikan ada tidaknya pertemuan yang disebut-sebut itu, pihak Ahmadiyah berupaya untuk melakukan pengumpulan data secara fair dengan cara menghubungi langsung pemerintah Inggris. Tentu saja agenda perjalanan seorang Ratu, adalah catatan sejarah yang penting dan Negara manapun tidak akan dengan begitu saja mengabaikan pencatatannya.

Pejabat pemerintah Inggris, dalam hal ini petugas arsip kerajaan, melalui surat yang ditanda tangani oleh Sheila De Bellaigue, Deputy Registrar mengungkapkan bahwa Ratu Victoria tidak pernah berkunjung ke India; Dan tidak ada keluarga kerajaan yang berkunjung ke India antara tahun 1835 dan 1908 dalam kedudukannya sebagai Raja atau Ratu (masa masa kelahiran Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad hingga kewafatan beliau); Tidak ada catatan adanya pertemuan antara keluarga kerajaan Inggris dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dan terakhir tidak ada catatan tentang Ahmadiyah di dalam arsip kerajaan Inggris.

Dengan begitu, jelas bahwa bangunan yang hendak ditegakkan oleh Ihsan Ilahi Zhahir dan hendak dipertontonkannya ke seluruh dunia, bahwa Ahmadiyah adalah antek-antek Inggris ternyata dibangun diatas pondasi kebohongan dengan mereka-reka suatu pertemuan fiktif.

Pernyataan al Ustadz Allamah As Sayyid Muhammad Al_Muntasir Al Kattani, mantan kepala bagian Ilmu-ilmu Al Qur’an dan Sunnah Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus, mantan Guru Besar bidang Fikih Maliki dan Kebudayaan Islam di Universitas Ar-Ribath Maghribi, dan anggota Panitia Ensiklopedi Fikih Islam di Universitas Damaskus serta Guru Besar bidang Hadits dan FIkih di dua fakultas Syari’ah dan Ushuluddin di Universitas Islam Madinah Munawwarah, bahwa Ghulam Ahmad Al-Qadiani adalah seorang budak hina dari budak Britania yang menjual kepada mereka agama, kemuliaan, akal, kehidupan, dan menyebarkan semua dalam buku-buku, risalah-risalah, dan makalah-makalah yang dia namai wahyu kenabian dan agama … kenabian yang dikukuhkan oleh para tokoh penjajah, … (lihat, Mengapa Ahmadiyah Dilarang, halaman xv).

Ini adalah kebohongan besar. Sebab dalam tulisan itu telah dinyatakan perbuatan beberapa pihak. Pertama, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad telah bertemu dengan Ratu Britania dan menyampaikan pidato dihadapannya. Dan pidato itu berisi sebuah pengakuan. Kedua, bahwa Ratu Britania telah berkunjung ke India dan telah bertemu dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad serta mendengarkan pengakuannya. Ketiga, telah mendengar pidato itu dan menyaksikan kedua belah pihak itu bertemu, atau telah membaca sebuah buku yang melaporkan peristiwa tersebut. Jadi bila itu merupakan kebohongan, maka jumlah kebohongannya sedikitnya sebagai berikut:
1. Berbohong bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad telah bertemu Ratu Britania.
2. Berbohong bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad telah menyampaikan pidato dihadapan Ratu Britania.
3. Berbohong bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad telah mengemukakan pengakuan atas jasa-saja Ratu Britania.
4. Berbohong bahwa Ratu Britania telah berkunjung ke India padahal tidak pernah.
5. Berbohong bahwa Ratu Britania telah bertemu dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad di suatu tempat di India.
6. Berbohong bahwa Ratu Britania telah mendengar secara langsung pengakuan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad.
7. Telah berbohong menyaksikan peristiwa itu [seandainya ia mengaku telah menyaksikan peristiwa itu, sebab di dalam bukunya tidak dikatakan dengan jelas apakah ia melihat sendiri, atau mendengar dari orang lain, atau membaca tulisan orang lain].
8. Telah berbohong membaca buku yang mencatat peristiwa itu.
9. Berbohong bahwa seseorang telah menulis laporan tentang peristiwa tersebut.
10.
Hal yang lebih menggelikan adalah pernyataan bahwa syahadat Ahmadiyah adalah mengakui Ghulam Ahmad sebagai pengganti YML Rasulullah s.a.w sebagaimana bayak diucapkan oleh Amin Jamaluddin sebagai Ketua LPPI (http://www.hizbut-tahrir.or.id/2008/01/17/menjawab-kebohongan-ahmadiyah/). Ghulam Ahmad sendiri menulis: Berkenaan dengan dua kalimah Syahadat, beliau menulis,

“Inti dari kepercayaan saya adalah: Laa Ilaaha Illallahu, Muhammadur-Rasulull ahu (Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah). Kepercayaan kami yang menjadi pergantungan dalam hidup ini, dan yang padanya kami, dengan rahmat dan karunia Allah, berpegang sampai saat terakhir dari hayat kami di bumi ini ialah: Sayyidina Maulana Muhammad SAW adalah Khataman Nabiyyin dan Khairul Mursalin, yang termulia dari antara nabi-nabi. Ditangan beliau hukum syari’at telah disempurnakan. Karunia yang sempurna ini pada waktu sekarang adalah satu-satunya penuntun ke jalan yang lurus dan satu-satunya sarana untuk mencapai ‘kesatuan’ dengan Tuhan Yang Mahakuasa.” (Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Izalah Auham, 1891: 137).

Pernyataan tentang syahadat Jemaat Ahmadiyah ini dapat dilihat dalam situs resmi Ahmadiyah International (http://www.alislam.org/books/religiousknowledge/sec1.html#kalima) dan juga di situs Ahmadiyah Indonesia (http://www.ahmadiyya.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=215&Itemid=1). Sehingga hal yang berhubungan dengan syahadat bagi muslim Ahmadiyah sudahlah sangat jelas, yaitu Bertuhan Kepada Allah taala, dan mengakui Muhammad bin Abdullah sebagai rasulNya.

Tuduhan lainnya yang dialamatkan kepada Ghulam Ahmad adalah membajak Al-Quran. Bayan DSP PKS Nomor: 17/B/K/DSP-PKS/1429 Tentang Ahmadiyah dinyatakan sebagai berikut:

Tadzkirah adalah kitab suci Ahmadiyah isinya penuh dengan kebohongan dan kedustaan. Sebagian besarnya berupa pembajakan dan pemalsuan dari Al-Qur’an. Di antara kedustaan dan pemalsuan isi kitab tadzkirah antara lain:
-Tadzkirah hal 43 membajak Al-Qur’an surat al-Anfal 17.
-Tadzkirah hal 342 (Haqiqatul Wahyi hal 71) membajak Al-Qur’an surat As-Shaff 9.
– point 3 tentang pokok keyakinan Ahmadiyah versi PKS yaitu Ahmadiyah menyakini bahwa kitab Tadzkirah sama sucinya dengan kitab al-Qur’an
Pembahasan tentang ini secara lebih detil akan dijelaskan dalam point 8. Al-Quran suci vs Tazdkirah.

Point 4 dalam tuduhan PKS, yang juga dinyatakan oleh Amin Jamaluddin, yaitu Ahmadiyah memiliki tempat suci sendiri yaitu di Qadian India. Mungkin istilah PKS tentang tempat suci cukup halus, tetapi Amin Jamaluddin menfitnah lebih keras dengan menyebutkan Ahmadiyah naik haji ke Qadian.
Soal haji ini Ghulam Ahmad menulis:

“Maka, wahai sekalian orang yang merasa dirinya tergolong dalam jemaatku! Kamu sekalian di langit baru akan tergolong dalam warga jemaatku, setelah kamu sekalian benar-benar melangkahkan kakimu pada jalan ketaqwaan. Oleh karena itu dirikanlah sembahyang kelima waktu dengan penuh rasa ketakutan dan pemusatan pikiran, seakan-akan kamu sekalian melihat wajah Ilahi di hadapanmu. Jalankanlah hari-hari puasamu karena Allah dengan penuh ketulusan. Setiap orang yang wajib membayar zakat, hendaklah ia melunasi zakat. Barangsiapa yang telah memenuhi syarat untuk menunaikan ibadah Haji, dan tidak ada yang menghalangi, hendaklah ia menunaikan ibadah Haji. Kerjakanlah segala amalan baik dengan cermat, dan tinggalkanlah perbuatan buruk disertai perasaan jengkel.” (Kisyti Nuh, hlm. 22-23)7

Siapakah yang berhaji itu, dalam situs Ahmadiyah sangat jelas bahwa ibdah Haji Ahmadiyah adalah sama dengan ibadah haji umat Islam lainnya. Khalifah pertama Ahmadiyah bergelar Haji Alhakim Nuruddin, disebut haji setelah menjalankan kewajiban itu di bulan qurban (haji). Demikian pula Ahmadi lainnya, sebagian besar mubaligh Ahmadiyah di menjalani pendidikan di Qadian namun tidak bergelar Haji. Kakek saya sepulang dari Qadian tidak disebut Haji, adalah bapak saya yang kemudian menjadi Haji setelah pulang dari Mekkah walaupun tidak pernah ke Qadian. Saya bisa menyebutkan puluhan orang Ahmadi yang pulang dari Qadian dan bukan Haji, disamping saya bisa menyebutkan ratusan Ahmadi yang tidak pernah ke Qadian tetapi menjadi Haji sepulang dari Mekkah.

Seiring dengan fatwa MUI dan Rabithah Al Islami, maka Jemaat Ahmadiyah dipersulit dalam melaksanakan Haji. Bapak saya yang tinggal di Makassar naik haji dengan menggunakan kloter dari Yogyakarta dsb. Padahal barang siapa mempersulit seorang muslim dalam ibadahnya tentunya bukanlah seorang muslim sebagaimana hadits YML saw berikut

“Seorang muslim adalah orang yang tidak merugikan muslim lainnya dengan lidah maupun dengan kedua tangannya.” (H. R.Bukhari) 8

Fitnah point 6 berbunyi “Mirza Ghulam Ahmad menyakini bahwa ajarannya yang benar, bagi mereka yang tidak masuk Ahmadiyah maka mereka adalah sesat dan akan masuk neraka Jahannam”.

Barangkali fitnah ini dilatarbelakangi istilah “kafir” bagi orang yang tidak mengakui Ghulam Ahmad sebagai Al Masih yang dijanjikan, sebagaimana di klaim banyak Ahmadi.

Perlu dijelaskan disini tentang istilah “kafir” yaitu tidak selamanya sebutan kafir ditujukan kepada orang yang mengingkari Tuhan, nabi, rasul, kitab, dan sebagainya. Ternyata istilah itu beragam pemakaiannya. Contohnya sebagai berikut:

Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah kamu menjadi kafir di belakangku, sehingga sebagian dari kamu memancung leher yang lain.” (Misykat Jilid 1, hlm. 37)3

Dalam Hadits ini yang dimaksud kafir oleh Rasulullah s.a.w.adalah orang-orang mukmin agar jangan saling memerangi, sebab perbuatan demikian disebut kafir.

Selanjutnya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Siapa di antara budak-budak yang lari meninggalkan tuannya,

maka sesungguhnya ia telah menjadi kafir sebelum ia kembali kepada tuan mereka.” (H. R. Muslim, jld. 1, hlm. 37)4

“Ada dua sifat yang masih terdapat di kalangan umatku, mereka masih kafir dalam dua sifat itu, yakni mencela kebangsaan orang lain dan meratapi mayit.” (H. R. Muslim, jld.1, hlm. 37)5

“Perjanjian teguh yang membedakan kita dengan mereka (orang-orang kafir dan musyrik) adalah sembahyang, maka barangsiapa meninggalkan sembahyang niscaya kafir-lah dia.” (Misykat, hlm. 58)6

Jadi, apabila ada sebutan kafir, maka yang dimaksud tak lain hanya menyatakan, tanpa sekelumit pun rasa benci atau tidak bersahabat, bahwa orang itu tidak beriman dan mengingkari kebenaran seorang nabi atau rasul. Dalam kaitan ini, perhatikanlah dengan cermat tulisan Pendiri Jemaat Ahmadiyah berikut ini:

“Cobalah perhatikan kebohongan para alim-ulama, betapa mereka menuduh kami telah mengkafirkan dua ratus juta kaum muslimin, padahal bukanlah kami yang memulai hal ini, bahkan para ulamalah yang mula-mula mengkafirkan kami dan mereka pulalah yang telah menimbulkan kiamat dengan menghamburkan fatwa-fatwa mengkafirkan kami, dan dengan fatwa-fatwa itu mereka telah menimbulkan kegemparan di seluruh India …” (Haqiqatul Wahyi, hlm.120-121)7

Sekarang akan disampaikan bukti bahwa para ulama Islam di Hindustan-lah yang pertama kalinya mengkafirkan Hz. Mirza Ghulam Ahmad dan Jemaat Ahmadiyah. Selain itu, menurut Jemaat Ahmadiyah, kafir ada 2 macam. Mengingkari nabi tasyri’i (nabi pembawa syari’at) adalah lain halnya dengan mengingkari nabi ummati (nabi pengikut syari’at). Karena Rasulullah s.a.w. adalah nabi pembawa syari’at, maka mengingkari Islam atau mengingkari Rasulullah s.a.w., secara langsung dapat membuat seseorang itu menjadi kafir, artinya menjadi non-Muslim. Dalam kondisi di mana seseorang menerima Nabi Muhammad s.a.w. sebagai Rasulullah dan Al- Qur’an sebagai Kalamullah, namun ia mengingkari Masih Mau’ud (Al-Masih yang Dijanjikan), maka keingkarannya itu bukanlah suatu ke-kafir-an yang dapat membuatnya langsung menjadi non-Muslim. Karena Masih Mau’ud adalah nabi ummati, maka mengingkari beliau berarti membuat seseorang menjadi kafir (ingkar) terhadap nabi ummati. Sebagai anggota di dalam umat Rasulullah s.a.w., orang itu tetap disebut muslim, akan tetapi dia menjadi kafir dalam hal mengingkari Masih Mau’ud.12

Mengingkari Masih Mau’ud bukanlah kekafiran secara langsung, melainkan kekafiran secara tidak langsung, sebagaimana halnya kenabian Masih Mau’ud itu adalah kenabian yang tidak langsung. Inilah yang merupakan ruh dari tulisan Pendiri Jemaat Ahmadiyah berikut ini:

“Poin ini perlu diingat bahwa menyatakan orang-orang yang mengingkari pendakwaannya sebagai kafir hanyalah ciri nabi-nabi yang membawa syari’at serta hukum-hukum baru dari Allah Ta’ala. Akan tetapi, selain daripada pembawa syari’at, segenap mulham (penerima ilham) dan muhaddats (orang yang bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala) – tidak perduli betapa mulia kedudukannya di sisi Allah dan memperoleh anugerah bercakap-cakap langsung dengan Allah – dengan mengingkari mereka tidak ada yang menjadi kafir.” (Taryaqul Qulub, catatan kaki hlm. 130, Ruhani Khazain jld. 15, cat. kaki hlm. 432)13

Tags: ,

Leave a comment